BATAK & PEMBATAKAN ; Propaganda “SOSPOLEK” Bernuansa Sentimen yang Berakar Pada Sejarah Luar Sumatera
KARO BUKAN BATAK: Klarifikasi Budaya yang Sering Disalahpahami
Angka dan Kategorisasi yang Menyesatkan
Data dalam sebuah postingan Kompas mengenai jumlah sarjana yang dihasilkan berdasarkan kategorisasi Masyarakat Kebudayaan sering kali mengikutsertakan suku-suku asli Sumatera Utara yang bukan Melayu, lalu mengelompokkannya sebagai “Batak.”
Ketika Masyarakat Karo mengklarifikasi identitas budaya mereka melalui gerakan “Karo Bukan Batak”, muncul narasi miring seperti:
“Orang lain sudah bicara bagaimana cara ke bulan, kalian masih membahas soal kesukuan. Dasar orang-orang dung terbelakang, pantas ga maju-maju!”*
Strategi Mengaburkan Kesadaran Budaya
Argumentasi semacam ini diciptakan dan didoktrinkan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan klarifikasi Karo Bukan Batak.
Mereka berusaha menuduh pemikiran kritis dan kebenaran sebagai sesuatu yang sesat. Ini adalah strategi umum yang digunakan oleh pihak yang tidak jujur agar kepentingan mereka tidak terganggu oleh munculnya kesadaran baru di kalangan masyarakat yang sebelumnya dibodohi.
Kita semua familiar dengan pepatah:
“Lebih baik mencegah daripada mengobati.”
Maka tak heran, pihak yang ingin mempertahankan narasi Batak berusaha mencegah “virus” kesadaran ini menyebar.
Upaya Membendung Kesadaran Sosial, Politik, dan Ekonomi
Gerakan Karo Bukan Batak berpotensi membebaskan masyarakat Karo dari sikap apatis yang selama ini melemahkan posisi mereka dalam aspek sosial, politik, dan ekonomi.
Mereka yang mendukung dominasi Batak tahu bahwa mencap gerakan ini sebagai sikap terbelakang dan anti-persatuan adalah cara paling efektif untuk membodohi masyarakat yang masih apatis, dibandingkan harus menggelar seminar kajian ilmiah yang justru akan mengungkap fakta sebenarnya.
Sejarah Panjang Upaya Politisasi Identitas Budaya
Yang paling menakutkan bagi mereka bukan sekadar munculnya wacana Karo Bukan Batak, melainkan terbongkarnya tujuan laten politik Batak dalam sejarah. Beberapa peristiwa yang menandai perjalanan ini antara lain:
- 1948: T.M. Tampubolon & L. Hutabarat menggagas pembentukan Provinsi Tapanuli.
- 1949: Provinsi Tapanuli berdiri, tetapi menolak bergabung dengan Provinsi Sumatera Utara yang sudah terbentuk sebelumnya.
- 1952: Pemberontakan Maludin Simbolon untuk memisahkan Sumatera dari NKRI.
- Pemekaran Provinsi Tapanuli: Upaya pemisahan dari Sumatera Utara yang berujung pada terbnhnya Ketua DPRD Sumut, Aziz Angkat, saat demonstrasi masyarakat Batak di DPRD Sumut.
- Hingga saat ini: Pembentukan Batak Centre dan Panitia Percepatan Pemekaran Provinsi Tapanuli (dipimpin Yonge Sihombing dkk).
Apakah rentetan ini bukan bukti adanya gerakan politik?
Strategi Machiavellian: Membalikkan Dosa
Dalam bukunya Il Principe, Machiavelli menulis:
“Untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan, kita harus menghindari dibenci dan dihina.”
Bagaimana caranya?
“Buat lawan kita menanggung dosa yang kita perbuat.”
Itulah strategi yang diterapkan. Mereka menuduh pendukung Karo Bukan Batak sebagai:
- Berpolitik
- Antek PKI
- Radikalis Islam
- Anti-Persatuan
- Anti-NKRI
- Bodoh dan terbelakang
Mereka ingin agar publik melihat pihak Karo sebagai penyebab perpecahan, padahal justru merekalah yang melakukan propaganda sistematis.
Kesimpulan: Mempertahankan Identitas Karo
Bahkan dalam dunia sepak bola, seorang Cristiano Ronaldo akan berusaha agar gol yang tercipta dikaitkan sebagai andil besarnya, meskipun kenyataannya ada 10 rekan setim yang ikut berperan.
Begitulah realitas politik identitas yang dimainkan selama ini. Namun, semakin banyak masyarakat Karo yang sadar, semakin sulit bagi narasi dominasi ini untuk bertahan.
Bujur Mejuah-juah!
Artikel ini ditulis ulang dari artikel asli nya demi kepentingan kaidah SEO tanpa merubah tujuan dan makna yang diinginkan oleh Penulis
Share this content:
1 comment