Loading Now

Erpangir Ku Lau : Pertempuran baru antara Agama dan Identitas Budaya

Erpangir ku lau

Erpangir ku Lau : Ritual Berdasarkan agama Pemena ?

Erpangir ku lau adalah ritual masyarakat Karo yang berdasarkan agama lama yang disebut Pemena, sebagai sarana untuk membersihkan diri guna menjaga kesucian tubuh dan jiwa manusia. Manusia yang telah bersih secara fisik dan spiritual telah dijauhkan dari pengaruh jahat sehingga layak untuk mendekatkan diri kepada leluhur, roh alam semesta, dan juga Tuhan. Namun, saat penyebaran agama Kristen dilakukan oleh serikat misionaris Belanda di Tanah Karo pada tahun 1890-1904, semua praktik adat dan budaya tradisional yang berhubungan dengan leluhur dan Tuhan dilarang dilakukan Belanda, bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat Karo terhadap identitas budaya mereka sendiri. Saat ini, masyarakat Karo terbagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing dengan pemahaman mereka tentang adat budaya leluhur, termasuk erpangir ku lau.

Erpangir ku Lau Sebagai Identitas Masyarakat Karo ?

Erpangir ku lau adalah cara manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan mereka sambil menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam semesta, dan leluhur mereka. Telah terbukti bahwa ritual erpangir ku lau sebagai pemujaan ilmu hitam sepenuhnya merupakan konstruksi kolonial. Erpangir ku lau adalah akar yang membentuk identitas masyarakat Karo, yang dikenal sebagai metami, melias, mehamat, perkuah, dan perkeleng. Meskipun mereka tidak lagi menganut kepercayaan leluhur, masyarakat Karo harus menafsirkan kembali nilai-nilai moral pembentuk identitas yang terkandung dalam ritual erpangir ku lau dan kemudian menyandingkannya dengan kepercayaan apapun yang mereka anut saat ini.

Erpangir-ku-lau Erpangir Ku Lau : Pertempuran baru antara Agama dan Identitas Budaya

Erpangir ku Lau sebagai warisan budaya tak Benda

Setelah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda nasional pada tahun 2016, ritual erpangir ku lau kembali dilaksanakan sebagai bagian dari atraksi wisata di Desa Doulu. Pelaksanaan ritual ini dikelola oleh pemerintah setempat yang dibantu oleh organisasi dan lembaga berbasis masyarakat dan dilaksanakan setahun sekali. Namun, kebijakan pemerintah ini mendapatkan pro dan kontra dari masyarakat Karo sendiri, karena melibatkan persetujuan dan ketidaksetujuan masyarakat Karo pasca-kolonial terhadap ritual ini. Menurut Putro (1989), ritual erpangir ku lau adalah salah satu kegiatan budaya tradisional Karo yang pelaksanaannya dilarang oleh pemerintah Belanda dengan menggunakan berbagai konstruksi wacana kolonial. Hasil penelitian Sebayang (2020: 259) menemukan bahwa pelaksanaan kembali ritual erpangir ku lau sebagai atraksi wisata budaya khas Karo berdampak pada pembagian masyarakat Karo menjadi beberapa kelompok. Pada akhirnya, orang-orang yang masih menjalankan ritual mulia ini harus menerima posisi mereka sebagai kelompok minoritas. Kini, ritual erpangir ku lau dalam masyarakat Karo menjadi pertempuran baru antara agama dan identitas budaya. Sehingga, diperlukan kajian identitas untuk menjembatani antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan ritual ini sebagai atraksi wisata budaya khas Karo.

Erpangir Ku Lau, membentuk kepribadian masyarakat Karo

Ritual erpangir ku lau seharusnya dipahami oleh masyarakat sebagai identitas budaya Karo yang menjaga hubungan harmonis antara manusia dan manusia, manusia dan alam semesta, serta manusia dan Tuhan mereka, sesuai dengan filosofi mejuah-juah. Ritual erpangir ku lau membentuk kepribadian Karo yang memahami pantangan makanan, pantangan perilaku, dan pantangan tindakan bicara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial seperti mehamat (sopan), melias (persuasif), metami (penyayang), perkuah (dermawan), dan perkeleng (pengasih). Terlepas dari agama apa yang dianut masyarakat Karo pasca-kolonial saat ini, ritual erpangir ku lau akan dapat diterima, namun dengan pemahaman dan perspektif yang berbeda, yaitu kesatuan identitas budaya. Identitas di mana kita dapat menjelaskan siapa kita dan juga tahu bagaimana membuktikannya.

 

Share this content: