Penyelesaian Sengketa Masyarakat Karo melalui Runggun Adat
Runggun Adat dalam Penyelesaian Sengketa Masyarakat Karo
Masyarakat Karo memiliki mekanisme penyelesaian sengketa berbasis adat yang disebut Runggun Adat. Sistem ini mengedepankan diskusi mendalam yang dilakukan secara formal, dengan tema, waktu, dan tempat yang telah disepakati sebelumnya. Tujuannya adalah mencapai keputusan yang bersifat objektif, berpihak pada kepentingan bersama, serta dicapai melalui konsensus.
Runggun Adat dapat dilakukan dalam skala kecil maupun besar, tergantung pada tingkat kepentingan permasalahan yang dibahas. Forum ini digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan, seperti:
- Upacara adat, termasuk kelahiran, pernikahan, dan kematian
- Sengketa adat, seperti warisan dan kepemilikan tanah
- Kasus delik tertentu yang berkaitan dengan hukum adat
Meskipun berakar kuat dalam tradisi, Runggun Adat masih digunakan dalam masyarakat Karo hingga saat ini, meskipun beberapa kasus—terutama yang berkaitan dengan sengketa tanah dan warisan—kadang langsung dibawa ke pengadilan negara.
Struktur dan Partisipan dalam Runggun Adat
Forum Runggun Adat terdiri dari tiga kelompok utama yang berasal dari sistem kekerabatan Karo, yaitu:
- Anakberu – Bertindak sebagai pelaksana dan perwakilan dalam musyawarah
- Senina – Memiliki peran sejajar dalam musyawarah
- Kalimbubu – Diposisikan sebagai pihak yang dihormati dalam forum
Dalam suatu sesi Runggun Adat, jika sengketa terjadi antara keluarga yang masih memiliki hubungan darah (agnatic relatives), maka hanya terdapat tiga kelompok yang hadir: anakberu, senina, dan kalimbubu. Namun, jika sengketa terjadi antara dua pihak yang tidak memiliki hubungan darah, maka masing-masing pihak membawa tiga kelompoknya sendiri, sehingga total ada enam kelompok yang berpartisipasi.
Setiap kelompok diwakili oleh seorang juru bicara, sementara diskusi dipimpin oleh anakberu senior, yang juga bertindak atas nama kelompoknya. Peran anakberu dalam Runggun Adat sangat penting, karena mereka memiliki tanggung jawab untuk bertindak demi kepentingan kalimbubu, bahkan jika itu berarti harus menegur mereka secara sopan dan adil.
Tata Cara dan Norma dalam Runggun Adat
Runggun Adat bukanlah forum yang dipimpin oleh satu pemimpin mutlak. Anakberu bertanggung jawab atas keberhasilan diskusi, dengan harapan mereka memiliki kebijaksanaan, kekuatan, dan kemampuan untuk menavigasi pembicaraan agar mencapai keputusan yang adil.
Dalam sesi Runggun Adat, peserta duduk sesuai dengan aturan tertentu:
- Senina duduk di tengah sebagai pihak yang bersengketa
- Kalimbubu duduk di sebelah kanan (melambangkan superioritas)
- Anakberu duduk di sebelah kiri (melambangkan inferioritas)
Siapa yang menjadi juru bicara dalam setiap kelompok ditentukan berdasarkan senioritas garis keturunan, serta kemampuan pribadi seseorang dalam berbicara dan bernegosiasi. Dalam bagian resmi pertemuan, komunikasi dilakukan melalui juru bicara masing-masing kelompok, tetapi peserta lain tetap memiliki kebebasan untuk menyampaikan intervensi singkat atau memberikan pendapat dalam diskusi informal.
Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa dalam Runggun Adat
Agar Runggun Adat dianggap berhasil dan adil, ada beberapa prinsip utama yang harus diikuti:
1. Kebebasan Berpendapat dengan Sopan
Setiap peserta bebas menyampaikan pendapatnya, tetapi harus menggunakan bahasa yang sopan, terarah, dan relevan dengan masalah yang dibahas. Tidak diperbolehkan menyinggung atau menyinggung pihak lain, dan sebaliknya, diskusi harus menghasilkan perasaan saling menghormati.
2. Kepentingan Bersama di Atas Kepentingan Pribadi
Semua peserta diharapkan bertindak demi kepentingan bersama, bukan hanya untuk membela salah satu pihak yang bersengketa. Jika ada tanda-tanda keberpihakan dalam penyelesaian sengketa, hal itu akan langsung dikritik.
Sebagaimana pepatah Karo mengatakan:
“Bagi si mekpek nipe ibas page”
(“Seperti membunuh ular di ladang padi yang sudah matang—ular harus dibunuh, tetapi padi tidak boleh rusak”).
Ini menggambarkan bahwa konflik harus diselesaikan dengan adil tanpa merusak harmoni sosial.
3. Ritual Makan Bersama sebagai Simbol Kesepakatan
Sebelum diskusi dimulai, peserta mengadakan makan bersama sebagai bentuk sumpah bahwa mereka akan menjalankan sidang secara adil. Setelah keputusan dicapai, ritual makan bersama kembali dilakukan, sebagai simbol bahwa:
- Keputusan akan dihormati dan diikuti oleh semua pihak
- Tidak ada lagi permusuhan atau dendam setelah sengketa diselesaikan
Keputusan Runggun Adat memiliki tekanan sosial yang kuat terhadap para pihak untuk mematuhinya, karena keputusan diambil oleh orang-orang yang berasal dari kelompok kekerabatan mereka sendiri (anakberu, senina, dan kalimbubu).
Namun, jika ada pihak yang tetap menolak keputusan, tidak ada sanksi formal, kecuali di masa lalu, di mana pihak yang menolak keputusan akan diputus hubungan sosialnya oleh anakberu, senina, dan kalimbubu mereka.
Kesimpulan
Runggun Adat adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang mengakar dalam budaya Karo, mengedepankan musyawarah, kepentingan bersama, dan pencapaian konsensus. Forum ini melibatkan tiga kelompok kekerabatan utama, yaitu anakberu, senina, dan kalimbubu, di mana diskusi dipimpin oleh anakberu senior yang memiliki tanggung jawab besar dalam mencapai keputusan yang adil.
Meskipun sistem ini masih digunakan dalam masyarakat Karo, perubahan zaman menyebabkan beberapa sengketa, terutama terkait tanah dan warisan, lebih sering dibawa ke pengadilan negara. Namun, Runggun Adat tetap menjadi simbol kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan sosial di kalangan masyarakat Karo.
Share this content: