Struktur Kekerabatan Masyarakat Karo: Sistem Sosial yang Unik dan Kompleks
Struktur Kekerabatan Masyarakat Karo dan Perannya dalam Sosial Budaya
Masyarakat Karo memiliki sistem kekerabatan yang unik dan kompleks, yang sangat berperan dalam kehidupan sosial mereka. Struktur ini tidak hanya menentukan hubungan antarindividu, tetapi juga memengaruhi pola tinggal dalam rumah adat Karo, yang secara tradisional dihuni oleh beberapa keluarga.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo, terdapat tiga kelompok utama yang membentuk hubungan sosial, yaitu anakberu, senina, dan kalimbubu. Ketiga peran ini saling berkaitan dan mencerminkan keseimbangan dalam kehidupan sosial masyarakat Karo.
Rumah Adat Karo dan Pembagian Ruang dalam Kekerabatan
Rumah adat Karo dibangun untuk menampung delapan keluarga, di mana setiap keluarga menempati satu ruangan tanpa sekat, kecuali untuk tempat tidur. Pembagian ruangan ini tidak sembarangan, melainkan mencerminkan struktur sosial masyarakat Karo.
Terdapat empat ruangan utama, yang memiliki peran penting dalam sistem kekerabatan:
Empat ruangan yang dianggap paling penting terletak di kedua sisi pintu masuk depan dan belakang (disebut sebagai “hulu” dan “hilir”), yang secara ideal ditempati dengan cara yang mencerminkan struktur sosial masyarakat Karo. Ruangan dengan peringkat tertinggi ditempati oleh kepala rumah tangga; ia adalah keturunan patrilineal dari pendiri desa dan dengan demikian termasuk dalam garis keturunan penguasa di desanya. Ruangan kedua ditempati oleh anak beru, yaitu seorang pria dari garis keturunan yang “mengambil” perempuan dari garis keturunan No. 1, sehingga ia pasti berasal dari marga yang berbeda dengan No. 1.
Ruangan ketiga ditempati oleh senina, yaitu kerabat laki-laki dari No. 1 dan dengan demikian berasal dari marga yang sama. Sementara itu, ruangan keempat ditempati oleh kalimbubu, yaitu seorang pria yang berasal dari garis keturunan yang “memberikan” perempuan kepada garis keturunan No. 1, sehingga No. 4 dan No. 1 juga pasti berasal dari marga yang berbeda.
Hubungan Biner dalam Kekerabatan Karo
Seorang pria Karo dianggap “berarti” hanya jika ia memiliki anakberu, senina, dan kalimbubu, di mana hubungan-hubungan ini tidak hanya memainkan peran penting di dalam rumah tetapi juga di luar rumah dalam kehidupan sosial masyarakat Karo. Nilai-nilai ini tercermin dalam pelayanan yang diberikan oleh anakberu kepada “Tuhan yang terlihat,” yaitu kalimbubu-nya; keunggulan moral dan mistis kalimbubu terhadap anakberu-nya; serta hubungan timbal balik dan kesetaraan antara senina (atau sembujak), yang merupakan sesama anggota marga dekat.
Perlu selalu diingat bahwa dalam sistem kekerabatan dan kekerabatan affinal Karo, tidak ada kelompok sosial yang terpisah secara mutlak antara anakberu atau kalimbubu dalam masyarakat Karo. Seorang pria dan kerabat agnatisnya hanya menjadi anakberu dalam hubungannya dengan kalimbubu-nya, dan sebaliknya (Singarimbun, 1965: 170). Seorang pria yang sama bisa menjadi anakberu bagi X, kalimbubu bagi Y, dan senina bagi Z, sehingga ia harus mampu memainkan peran dalam ketiga status tersebut.
Dalam hubungannya dengan sesama anggota marganya sendiri, baik laki-laki maupun perempuan, seorang pria tidak dapat menjadi anakberu maupun kalimbubu, karena semua anggota marganya secara definisi adalah senina-nya. Namun, dalam hubungannya dengan anggota dari empat marga lainnya, setiap orang Karo selalu berada dalam hubungan biner — dalam tingkat tertentu, meskipun jauh — sebagai pemberi perempuan (woman-giver) atau pengambil perempuan (woman-taker), karena ia, leluhurnya, atau anak-anaknya, pada suatu waktu pernah mengambil atau memberikan perempuan kepada anggota dari marga lain.
Bahkan, seorang individu bisa saja, misalnya, menjadi kalimbubu tradisional bagi seseorang, tetapi sekaligus menjadi anakberu langsung bagi orang lain. Namun, hubungan ini sangat kompleks dan memerlukan ertutur, yaitu proses lisan untuk menghitung tingkat kedekatan kekerabatan
Share this content: